04 November 2025

Gitarku, Hidupku, Kekasihku: Buku Dewa Budjana yang Jadi Kompas Perjalanan Musikku

Gitarku, Hidupku, Kekasihku: Buku Dewa Budjana yang Jadi Kompas Perjalanan Musikku


Untuk membuka artikel ini, saya mau bertanya pada teman-teman semua yang masih setia di jalur musik. Jika diberikan waktu untuk merenung, siapa atau apa yang membuatmu tetap teguh berjalan di jalur ini (musik), walau banyak orang berkata industri ini tak sestabil industri lain?


Menjawab pertanyaan tersebut, sebuah buku yang saya temukan secara tidak sengaja di rak Gramedia, bertahun-tahun lalu, saat masih duduk di bangku SMP mungkin jadi satu dari sekian pedoman mengapa saya tetap ada di jalur musik ini.



Walau buku ini hanya mendapat rating 3,9/5 di Goodreads.com, jujur saya sama sekali nggak begitu peduli. Bagi saya, Gitarku, Hidupku, Kekasihku karya Dewa Budjana adalah lebih dari sekadar buku musik, bahkan bisa dibilang kompas hidup yang menuntun arah perjalanan saya di dunia musik hingga hari ini.


Saya pertama kali mengenal buku ini sekitar tahun 2007. Saat itu saya hanyalah anak ingusan yang duduk di bangku SMP Negeri, hidup di lingkungan sederhana, dengan teman-teman musik yang punya satu asa: kelak jadi musisi keren. Setiap kali jam pelajaran berakhir, kami sering mampir ke Gramedia, bukan untuk membeli buku, tapi sekadar mencari inspirasi dan mengintip dunia yang lebih besar dari kehidupan kami sehari-hari.


Di sana, di antara tumpukan buku musik, saya menemukan satu judul yang langsung menarik perhatian: 

Gitarku, Hidupku, Kekasihku.

Saya belum tahu banyak tentang Dewa Budjana waktu itu, tapi judulnya seperti berbicara langsung ke hati saya. Sering banget saya curi-curi waktu membaca di tempat, berdiri lama di depan rak, berusaha menyerap setiap halaman meski banyak istilah yang terasa asing di telinga.


Saya tidak mengerti banyak hal teknis di dalamnya — tentang efek, pickup, atau setelan ampli — tapi saya paham satu hal yang membuat saya berhenti di halaman itu lebih lama daripada buku lainnya: “Gitarku, Hidupku, Kekasihku.”



Makna yang Menjadi Landasan

Tiga kata itu sederhana, tapi membawa filosofi yang saya bawa hingga sekarang.


Gitarku — instrumen yang pertama kali saya genggam untuk berbicara dengan dunia.
Hidupku — karena musik akhirnya menjadi sesuatu yang melampaui hobi, menjadi atap yang menaungi dalam berproses di kerasnya kehidupan nyata.
Kekasihku — simbol dari cinta dan kesetiaan yang tidak bisa dijelaskan logika, hanya bisa dijalani.

Lewat buku ini, yang saya tangkap saat masih berusia belasan, justru bukan soal teknik bermain gitar ala Budjana, tapi tentang spiritualitas bermusik. Ia menulis tentang bagaimana setiap nada bisa menjadi bentuk doa, dan improvisasi bukan sekadar eksplorasi bunyi, tapi pencarian diri. Saya belajar bahwa musik bukan tentang seberapa cepat jari bermain, tapi seberapa dalam hati memahami arti dari bunyi itu sendiri.

Buku ini seperti menampar lembut saya untuk memahami bahwa menjadi musisi bukan sekadar mengejar panggung, tapi menemukan keseimbangan antara rasa dan kesadaran.



Dari Senar ke Suara: Awal Perjalanan Produksi Musik

Seiring waktu, arah perjalanan saya perlahan bergeser. Saya mulai tertarik pada dunia audio dan produksi, bagaimana suara dibentuk, dimanipulasi, lalu dihidupkan kembali. Saya belajar menjadi audio engineer dan music producer, dua peran yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Namun, akar dari semua itu tetap sama: gitar.
Gitar mengajarkan saya tentang dinamika, tekstur, dan keseimbangan suara, hal-hal yang menjadi pondasi penting dalam setiap proses mixing dan mastering yang saya lakukan sekarang.

Saya selalu percaya, buku Budjana itulah yang secara tidak langsung menuntun saya ke arah ini.
Ia menanamkan pemahaman bahwa musik adalah tentang menyimak, bukan hanya bermain.



Dari Buku ke Ruang Belajar

Bertahun-tahun setelah itu, filosofi “Gitarku, Hidupku, Kekasihku” masih saya bawa, tapi dalam bentuk yang lebih luas. Kalimat itu perlahan menjelma menjadi visi: bagaimana jika cinta terhadap musik bisa diwariskan ke lebih banyak orang? Dari sanalah lahir Fisella, ruang belajar musik dan produksi yang saya bangun agar anak-anak muda di luar kota besar bisa punya kesempatan belajar seperti saya dulu bermimpi. Bagi saya, Fisella adalah perwujudan nyata dari perjalanan yang dimulai di Gramedia sore itu.


Fisella bukan hanya tempat belajar musik, tapi tempat tumbuh, tempat di mana setiap murid bisa menemukan “gitar” mereka sendiri, apapun bentuknya. Dan di sana, kalimat itu menemukan makna barunya: Gitarku (alat dan ilmu), Hidupku (proses dan perjuangan), Kekasihku (cinta dan dedikasi untuk musik).

26 September 2025

Fenomena Lulusan Musik yang Buru-Buru Bikin Brand Kursus Tanpa Filosofi

Fenomena Lulusan Musik yang Buru-Buru Bikin Brand Kursus Tanpa Filosofi

Fenomena Lulusan Musik yang Buru-Buru Bikin Brand Kursus Tanpa Filosofi

Akhir-akhir ini ada fenomena menarik—atau tepatnya menggelikan—di dunia pendidikan musik Indonesia. Hampir setiap lulusan musik seperti berlomba-lomba membuat brand kursusannya sendiri. Namanya keren-keren: ada yang pakai istilah “academy”, “institute”, bahkan “school of music” seakan-akan sudah siap melahirkan generasi Beethoven baru. Sayangnya, ketika ditanya apa filosofi pendidikan yang mereka bawa, jawabannya kerap hanya “ya biar anak-anak bisa main musik aja.”

03 September 2025

Bagaimana Saya Memahami Filsafat Pendidikan Untuk Membangun Fundamen Filosofi Fisella®

Bagaimana Saya Memahami Filsafat Pendidikan Untuk Membangun Fundamen Filosofi Fisella®


Filsafat pendidikan sering dianggap rumit karena penuh istilah dan konsep abstrak. Namun, justru dengan memahami filsafat pendidikan, kita bisa mengetahui dasar pemikiran yang melandasi dunia pendidikan: mengapa kita mendidik, bagaimana cara mendidik, dan apa tujuan akhir dari pendidikan itu sendiri.

Artikel ini akan membahas filsafat pendidikan secara sistematis: mulai dari pengertian filsafat dan pendidikan, cabang filsafat, konsep filsafat menurut Prof. Dr. RR. Siti Murtiningsih, hingga aliran-aliran filsafat pendidikan yang memengaruhi praktik belajar mengajar.



1. Memahami Apa Itu Filsafat dan Pendidikan

1.1 Apa Itu Filsafat?

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani: philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara sederhana, filsafat berarti “cinta kebijaksanaan”. Dalam arti luas, filsafat adalah upaya manusia untuk berpikir mendalam, kritis, dan rasional tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.

Filsafat tidak hanya bertanya apa, tetapi juga mengapa dan bagaimana. Contoh pertanyaan filsafat:

  • Apa hakikat manusia?

  • Mengapa kita harus belajar?

  • Bagaimana menentukan perbuatan baik dan buruk?

Dengan demikian, filsafat bukan sekadar teori akademik, tetapi juga kerangka berpikir yang membantu manusia memahami hidupnya.

1.2 Apa Itu Pendidikan?

Pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti membimbing, mengarahkan, dan mengembangkan potensi manusia. Secara sederhana, pendidikan adalah proses sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik, baik intelektual, moral, emosional, maupun keterampilan.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah “upaya memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak agar selaras dengan alam dan masyarakatnya.”

Artinya, pendidikan tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga pembentukan kepribadian dan karakter manusia.



2. Cabang Ilmu Filsafat

Untuk memahami filsafat pendidikan, penting mengenal cabang-cabang filsafat. Menurut Prof. Dr. RR. Siti Murtiningsih, ada tiga cabang utama yang relevan:

2.1 Metafisika

Metafisika membahas hakikat realitas dan keberadaan. Bidangnya antara lain:

  • Kosmologi: alam semesta

  • Antropologi Filsafat: hakikat manusia

  • Teologi Filsafat: tentang Tuhan

  • Ontologi: keberadaan paling dasar

Dalam pendidikan, metafisika menanyakan: “Apa hakikat manusia sehingga perlu dididik?”

2.2 Epistemologi

Epistemologi adalah teori pengetahuan. Ia membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, apa sumbernya, dan apa yang membedakan pengetahuan benar dari sekadar opini.

Dalam pendidikan, epistemologi membantu menjawab: “Bagaimana cara terbaik memperoleh pengetahuan?”

2.3 Aksiologi

Aksiologi membahas nilai, yang terbagi menjadi:

  • Etika: nilai baik-buruk, benar-salah

  • Estetika: nilai keindahan

Dalam pendidikan, aksiologi berkaitan dengan tujuan: “Untuk apa manusia dididik? Nilai apa yang hendak dicapai?”



3. Konsep Filsafat dalam Pendidikan

Menurut Prof. Dr. RR. Siti Murtiningsih, ada empat konsep filsafat utama yang menjadi dasar aliran-aliran filsafat pendidikan:

  • Idealisme: menekankan ide, akal, dan roh lebih tinggi daripada materi. Pendidikan menekankan pembentukan jiwa dan moral.

  • Realisme: realitas objektif ada di luar pikiran manusia. Pendidikan mengenalkan peserta didik pada dunia nyata.

  • Pragmatisme: kebenaran dinilai dari manfaat praktis. Pendidikan menyiapkan siswa menghadapi masalah nyata sesuai kebutuhan zaman.

  • Eksistensialisme: menekankan kebebasan dan tanggung jawab individu. Pendidikan memberi ruang bagi peserta didik menemukan jati dirinya.



4. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan

Ada tujuh aliran filsafat pendidikan yang berkembang, masing-masing dipengaruhi oleh cabang filsafat (ontologi, epistemologi, aksiologi) dan konsep filsafat tertentu:

  1. Esensialisme: fokus pada pengetahuan pokok yang esensial, disiplin, dan tanggung jawab. (Realisme)

  2. Perenialisme: menekankan nilai-nilai abadi dan teks klasik. (Idealisme)

  3. Progresivisme: pendidikan harus adaptif terhadap perubahan, berbasis pengalaman. (Pragmatisme + Realisme)

  4. Rekonstruksionisme: pendidikan sebagai sarana memperbaiki masyarakat dan keadilan sosial. (Pragmatisme kritis)

  5. Nativisme: potensi manusia ditentukan sejak lahir, pendidikan hanya memfasilitasi. (Eksistensialisme deterministik)

  6. Empirisme: manusia lahir sebagai tabula rasa, semua pengetahuan dari pengalaman. (Realisme empiris)

  7. Konvergensi: kombinasi nativisme dan empirisme; potensi bawaan + pengaruh lingkungan.



5. Mengapa Penting Memahami Filsafat Pendidikan?

Dengan memahami filsafat pendidikan, kita bisa:

  • Mengetahui tujuan mendidik yang lebih mendalam daripada sekadar kurikulum.

  • Menentukan metode belajar sesuai pandangan filsafat tertentu.

  • Menghindari praktik pendidikan yang sekadar ikut tren tanpa dasar.

  • Memberi makna personal bagi guru, murid, maupun orang tua dalam proses pendidikan.

30 August 2025

Filsafat Pendidikan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Musik: Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi

Filsafat Pendidikan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Musik: Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi


Filsafat pendidikan selalu menjadi landasan penting dalam memahami arah, tujuan, dan makna dari sebuah sistem pendidikan. Ia bukan hanya berbicara tentang bagaimana mengajar, tetapi juga menggali pertanyaan paling mendasar: apa pengetahuan itu? untuk apa pengetahuan digunakan? dan apa hakikat dari pengetahuan itu sendiri? Artikel ini mencoba mengulas filsafat pendidikan berdasarkan buku Filsafat Pendidikan yang ditulis oleh Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum, guru besar Filsafat Pendidikan Universitas Gajah Mada, kemudian menginterpretasikan ulasan tersebut dengan menambahkan perspektif aplikasi dalam pendidikan musik.



Apa Itu Filsafat?

Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophiaPhilo berarti cinta, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan. Maka, filsafat secara sederhana dapat dimaknai sebagai cinta akan kebijaksanaan. Filsafat tidak berhenti pada teori, tetapi juga merupakan proses berpikir kritis, reflektif, dan sistematis untuk memahami realitas hidup.



Apa Itu Pendidikan?

Pendidikan secara etimologis berasal dari kata Latin educare yang berarti "mengeluarkan" atau "mengarahkan keluar". Pendidikan bertujuan mengembangkan potensi manusia, baik intelektual, moral, maupun keterampilan hidupnya. Dalam filsafat pendidikan, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai transfer ilmu, tetapi juga sebagai proses memanusiakan manusia.



Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dalam Filsafat

Epistemologi

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Secara sederhana, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang teori pengetahuan: apa itu pengetahuan, dari mana asalnya, bagaimana cara memperolehnya, dan apa batasannya.


Ontologi

Ontologi berasal dari kata Yunani ontos (ada/being) dan logos (ilmu). Ia adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan atau realitas. Ontologi sering dimasukkan dalam ranah filsafat metafisika, karena mencoba menjawab pertanyaan paling fundamental: apa yang benar-benar ada? apa hakikat sesuatu itu?


Aksiologi

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios (nilai) dan logos (ilmu). Cabang filsafat ini membahas tentang nilai, baik nilai moral, estetika, maupun fungsi dari sebuah pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan: untuk apa pengetahuan digunakan? apakah membawa manfaat atau justru merusak?



Landasan Filsafat Pendidikan Menurut Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih

Dalam buku "Filsafat Pendidikan", Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih menguraikan pentingnya melihat pendidikan dari tiga cabang filsafat utama: epistemologi, aksiologi, dan ontologi.


Epistemologi dalam Pendidikan

Pertanyaan yang diajukan adalah: “apa saja pengetahuan yang digunakan dalam pendidikan?”. Dalam konteks pendidikan, pengetahuan bisa berupa teori belajar, metode pengajaran, kurikulum, hingga hasil penelitian yang mendukung praktik pendidikan.


Aksiologi dalam Pendidikan

Pertanyaan yang diajukan: “untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?”. Pendidikan tidak netral. Pengetahuan dapat digunakan untuk meningkatkan kecerdasan, menciptakan inovasi, bahkan membentuk karakter. Namun, bisa juga disalahgunakan untuk kepentingan tertentu yang justru merugikan manusia.


Ontologi dalam Pendidikan

Pertanyaan yang muncul setelah aksiologi: “jika pengetahuan digunakan untuk hal negatif, apa hakikat manfaatnya?”. Ontologi mengajak kita untuk menimbang ulang esensi dari sebuah pengetahuan. Misalnya, meskipun pengetahuan teknologi bisa disalahgunakan, ontologi mempertanyakan keberadaannya: apakah masih ada manfaat esensial dari pengetahuan tersebut yang bisa digunakan untuk kebaikan?


Alur Berpikir Filosofis Pendidikan: Interpretasi Saya

Dalam buku Prof. Siti Murtiningsih, alur berpikir tidak dijelaskan secara eksplisit. Namun, menurut interpretasi saya, ada dua alur penting:

Membangun konsep filosofis pendidikan

  • Diawali dengan pertanyaan epistemologi → kemudian aksiologi → diakhiri dengan ontologi.

  • Urutan ini relevan karena ketika kita membangun konsep pendidikan, pertama kita harus tahu apa pengetahuannya, lalu digunakan untuk apa, dan akhirnya mempertimbangkan hakikatnya.

Menganalisis sebuah filosofi pendidikan

  • Diawali dengan ontologi → lalu aksiologi → diakhiri dengan epistemologi.

  • Analisis selalu dimulai dari pertanyaan tentang hakikat terlebih dahulu, kemudian tujuan penggunaannya, dan terakhir pada sumber pengetahuan yang digunakan.



Aplikasi Filsafat Pendidikan dalam Pendidikan Musik

Filsafat pendidikan tidak hanya berhenti di ruang kelas formal, tetapi bisa diterapkan dalam bidang spesifik seperti pendidikan musik. Berikut contoh penerapannya dalam membangun konsep filosofis musik:

1. Epistemologi Pendidikan Musik

Pertanyaan epistemologis: “apa saja pengetahuan musik yang dibutuhkan untuk pendidikan musik?”

Jawabannya sangat luas. Beberapa di antaranya:

  • Teori musik (skala, harmoni, progresi akor).

  • Solfegio (latihan pendengaran dan membaca notasi).

  • Pengetahuan teknologi musik (rekaman, mixing, mastering).

  • Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan royalti (pengetahuan yang relevan di era industri musik).

Dengan epistemologi, kita tahu bahwa pendidikan musik bukan hanya belajar memainkan instrumen, tetapi juga mencakup pengetahuan modern yang mendukung karier musisi.


2. Aksiologi Pendidikan Musik

Pertanyaan aksiologis: “untuk apa pengetahuan musik tersebut digunakan?”

  • Teori musik dan solfegio → pengetahuan fundamental, membantu musisi menguasai dasar-dasar bermusik, sehingga cenderung positif.

  • Pengetahuan HAKI dan royalti → bisa membawa dua sisi. Di satu sisi, penting agar musisi tahu hak mereka. Namun di sisi lain, bisa menimbulkan kesan negatif karena musik seolah menjadi alat kapitalisasi. Misalnya, kasus Mie Gacoan yang digugat royalti oleh LMK sempat menimbulkan pro-kontra.

Aksiologi menilai bahwa setiap pengetahuan dalam pendidikan musik membawa nilai tertentu yang harus diwaspadai.


3. Ontologi Pendidikan Musik

Pertanyaan ontologis: “jika pengetahuan HAKI dan royalti dianggap merusak (misalnya hanya menekankan uang), maka apa hakikat manfaatnya?”

Jawabannya: pengetahuan tersebut tetap memiliki nilai esensial. Dengan memahami HAKI dan royalti, calon musisi tahu cara menjaga karyanya, memperoleh penghargaan finansial yang layak, dan memastikan keberlanjutan karier mereka. Sehingga, meskipun ada kesan negatif, hakikat keberadaannya tetap penting demi masa depan musisi.

27 August 2025

Fenomena Royalti Musik di Indonesia: Antara Pamor dan Hak Cipta

Fenomena Royalti Musik di Indonesia: Antara Pamor dan Hak Cipta



Royalti musik di Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat. Perdebatan ini muncul bukan hanya di kalangan musisi senior, tetapi juga musisi baru yang tengah naik daun. Fenomena ini menarik untuk dicermati karena memperlihatkan dua wajah dunia musik: satu sisi membutuhkan eksistensi, sisi lain menuntut keadilan hak cipta.


22 August 2025

Kamu Terlalu Bercanda Sebagai Cendekiawan Musik

Kamu Terlalu Bercanda Sebagai Cendekiawan Musik

 

Ilmu Musik di Bangku Kuliah: Dampaknya untuk Siapa? Banyak mahasiswa musik diajarkan teori kontrapung, analisis tonalitas, hingga filsafat seni. Namun, pertanyaan krusialnya: apakah semua itu berdampak pada masyarakat? Atau sekadar menjadi pengetahuan yang indah untuk ditulis di skripsi, lalu dilupakan setelah wisuda?

08 August 2025

Homo Ludens: Manusia dan Bermusik

Homo Ludens: Manusia dan Bermusik

 


Sejak awal peradaban, manusia tidak hanya bekerja untuk bertahan hidup, tetapi juga bermain, berkarya, dan mengekspresikan diri. Dalam prosesnya, musik menjadi salah satu bentuk ekspresi yang paling tua dan universal. Konsep Homo Ludens memberikan pemahaman mendalam bahwa sifat bermain adalah bagian esensial dari kemanusiaan, dan musik adalah salah satu wujud nyatanya.


11 July 2025

Konser Jazz yang Tak Lagi Jazz: Mengurai Polemik Festival Jazz di Indonesia

Konser Jazz yang Tak Lagi Jazz: Mengurai Polemik Festival Jazz di Indonesia


Beberapa waktu setelah gelaran Prambanan Jazz Festival 2025, jagat maya musik Indonesia kembali diramaikan oleh perdebatan klasik: "Masihkah ini layak disebut festival jazz?"