Royalti musik di Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat. Perdebatan ini muncul bukan hanya di kalangan musisi senior, tetapi juga musisi baru yang tengah naik daun. Fenomena ini menarik untuk dicermati karena memperlihatkan dua wajah dunia musik: satu sisi membutuhkan eksistensi, sisi lain menuntut keadilan hak cipta.
Musisi Baru: Tolak Royalti, Demi Pamor dan Popularitas
Bagi musisi baru, prioritas utama bukanlah pemasukan dari royalti, melainkan pamor. Banyak di antara mereka rela melepas hak royalti dengan alasan karya mereka justru akan lebih dikenal jika diputar secara bebas di media, kafe, hingga platform digital.
Pandangan ini cukup logis, mengingat popularitas yang meningkat dapat membuka peluang lain seperti kontrak brand ambassador, undangan manggung, atau kerja sama dengan label musik. Dengan kata lain, bagi musisi baru, “setel saja musiknya” bisa menjadi strategi promosi yang efektif.
Musisi Senior: Royalti Sebagai Nafas Kehidupan
Berbeda dengan musisi baru, musisi senior justru semakin memperjuangkan hak royalti. Setelah masa kejayaan berlalu, pemasukan dari konser atau manggung berkurang drastis. Maka, royalti menjadi salah satu sumber pendapatan yang menopang kehidupan mereka.
Pandangan ini tentu dapat dipahami. Musik adalah karya intelektual yang memerlukan penghargaan. Sama halnya seperti penulis buku atau pelukis, musisi juga berhak mendapatkan kompensasi atas karya yang terus diputar publik.
Charly Van Houten: Membebaskan Musiknya Diputar
Di tengah perdebatan ini, ada musisi senior seperti Charly Van Houten yang justru mengambil langkah berbeda. Ia dengan tegas menyatakan karyanya bebas diputar tanpa memikirkan royalti. Sikap ini mengundang banyak apresiasi, karena menunjukkan jiwa seni yang lebih mementingkan penyebaran karya dibanding keuntungan finansial.
Namun, langkah Charly tentu tidak bisa dijadikan standar umum. Tidak semua musisi senior berada dalam posisi yang sama secara finansial. Ada yang masih membutuhkan royalti untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Indra Lesmana: Pro Direct Licensing
Di sisi lain, Indra Lesmana dalam rapat bersama DPR menyatakan dukungannya terhadap konsep direct licensing. Sistem ini memungkinkan pencipta atau pemilik hak cipta langsung memberikan lisensi kepada pihak yang ingin menggunakan lagunya, tanpa melalui lembaga kolektif manajemen.
Konsep ini dianggap lebih transparan dan adil, terutama untuk memastikan bahwa musisi benar-benar menerima haknya tanpa potongan yang terlalu besar. Meski begitu, direct licensing juga menuntut musisi memiliki literasi hukum dan bisnis yang lebih matang.
Kesimpulan: Dua Wajah Royalti Musik di Indonesia
Sebagai pengamat musik, saya melihat fenomena ini sebagai potret unik industri musik di Indonesia. Musisi baru memandang royalti bukan prioritas, karena popularitas lebih menjanjikan masa depan. Sementara musisi senior menjadikan royalti sebagai hak yang harus diperjuangkan setelah masa keemasan meredup.
Langkah Charly Van Houten menunjukkan bahwa masih ada musisi yang mengedepankan penyebaran karya, sementara sikap Indra Lesmana memperlihatkan perlunya sistem baru yang lebih efisien seperti direct licensing.
Royalti musik pada akhirnya bukan sekadar soal uang, tetapi juga soal penghargaan terhadap karya seni. Bagaimanapun, apresiasi yang sehat akan menciptakan ekosistem musik yang lebih adil bagi semua generasi musisi di Indonesia.