Akhir-akhir ini ada fenomena menarik—atau tepatnya menggelikan—di dunia pendidikan musik Indonesia. Hampir setiap lulusan musik seperti berlomba-lomba membuat brand kursusannya sendiri. Namanya keren-keren: ada yang pakai istilah “academy”, “institute”, bahkan “school of music” seakan-akan sudah siap melahirkan generasi Beethoven baru. Sayangnya, ketika ditanya apa filosofi pendidikan yang mereka bawa, jawabannya kerap hanya “ya biar anak-anak bisa main musik aja.”
Ironis bukan? Seorang musisi yang katanya paham esensi seni, tapi lupa kalau pendidikan bukan sekadar transfer skill, melainkan membentuk manusia.
Mengajar dengan Metode Copy-Paste
Lebih lucu lagi, metode yang dipakai sering kali hasil copy-paste dari guru sebelumnya, atau dari workshop singkat yang kebetulan mereka ikuti. Tidak ada refleksi, tidak ada pertanyaan mendasar: Mengapa saya memilih metode ini? Apa yang mau saya capai dengan cara ini?
Akhirnya, kelas musik yang mereka jalankan hanyalah fast food education: cepat, instan, dan seragam. Murid disuapi materi yang sama tanpa mempertimbangkan kebutuhan, bakat, atau konteks. Hasilnya? Banyak murid bisa memainkan lagu, tapi tidak benar-benar mengerti musik.
Filosofi Itu Kompas, Bukan Pajangan
Idealnya, sebuah brand pendidikan musik berangkat dari filosofi yang jelas. Filosofi itu ibarat kompas yang menuntun ke mana arah pendidikan akan dibawa. Misalnya:
-
Apakah tujuan utama mendidik musisi teknis yang luwes di panggung hiburan?
-
Atau membangun musisi berpikir kritis yang mampu mencipta karya orisinal?
-
Atau menanamkan musik sebagai terapi dan pengembangan diri?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian menentukan metode apa yang pantas dipakai. Kalau filosofi pendidikan hanya sekadar “ayo belajar chord dan scale”, jangan heran bila brand musik itu cepat mati karena tak punya pondasi.
Brand Bukan Sekadar Logo
Banyak lulusan musik mengira brand adalah soal logo, warna, dan nama keren yang catchy di Instagram. Padahal brand sejati lahir dari nilai yang dihidupi. Filosofi pendidikanlah yang membuat sebuah brand berbeda dan bertahan. Tanpa itu, ya sama saja seperti warung kopi kekinian yang menjamur lalu hilang begitu tren bergeser.
Mengajar Itu Tanggung Jawab, Bukan Konten
Lucunya, ada juga yang mengajar musik sekadar demi bikin konten reels: “Belajar gitar 10 menit auto jago!” Padahal musik tidak bisa dipadatkan jadi paket instan. Mengajar adalah tanggung jawab membimbing proses panjang—yang terkadang membosankan—tapi penuh makna. Kalau filosofi tidak jelas, murid hanya diperlakukan sebagai “views” dan “follower”, bukan sebagai manusia yang sedang bertumbuh.
Mungkin memang sudah zamannya setiap lulusan musik merasa dirinya harus punya brand kursus sendiri. Sah-sah saja, tapi kalau tanpa filosofi, hasilnya tak lebih dari kursus musiman yang dibungkus estetika digital.
Sebelum bikin logo, brosur, atau campaign Instagram, sebaiknya para musisi muda duduk dulu, bertanya pada diri sendiri: “Apa yang mau saya tanamkan lewat musik ini?” Kalau tidak, jangan kaget bila kursus itu sekadar jadi tempat murid belajar chord C mayor tanpa pernah tahu mengapa musik bisa mengubah hidup.