02 June 2020

Kebebasan dalam Musik, Benarkah?



Sebagian dari kita yang mengawali karir menjadi musisi mungkin pernah dibatasi dalam hal bermusik oleh orang tua, atau mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang menilai bahwa musik adalah amburadul, musik mengajarkan ketidakaturan, dan cenderung muncul penilaian negatif lainnya. Walaupun saya tidak mengalaminya, tetapi tidak sedikit rekan musisi yang merasakan penilaian seperti ini, sehingga mereka seolah harus menerjang arus dan membuktikan bahwa pandangan tersebut tidak mutlak. Sejenak saya berpikir, apakah benar musik berkaitan erat dengan kebebasan? Apakah benar-benar bebas? dan Bebas yang seperti apa?

Musisi (sebagai seniman) dituntut untuk berpikir holistik (utuh) dimana kita tidak boleh mudah meledak hanya karena sebuah pandangan tertentu, entah pandangan tersebut sepaham atau bertolak belakang. Oleh sebab itu saya tidak akan memposisikan diri saya sebagai musisi, atau sebagai orang awam, tetapi saya akan mencari tahu apa saja pandangan yang berkembang dalam masyarakat luas mengenai kebebasan dalam musik yang nantinya akan saya komparasikan dengan fakta yang terjadi di dunia permusikan yang juga saya jalani sekarang.

Musik Hanya Memakai Rasa, Sedikit Logika


Tidak salah jika orang non musik memandang demikian karena musik sangat erat kaitannya dengan perasaan. Ekstrimnya ada yang berpikir bahwa bermain musik, menciptakan lagu, mengaransemen semua hanya bersumber pada insting. Memang pada dasarnya dalam memainkan lagu, menciptakan, mengaransemen, seorang musisi bebas bereksperimen, namun yang terlihat demikian tidak sepenuhnya bebas. Berbicara soal tonalitas musisi dibatasi progresi akor tertentu (parameternya pada musik yang mudeh di terima orang awam), tempo yang cenderung konstan (jika ada perubahan tempo tetap harus ada koordinasi antar pemain), sukat atau time signature, dan hal lainnya. Jika musisi hanya mengedepankan rasa tanpa logika, saya rasa karya yang disajikan akan cukup berantakan dan sulit bisa dicerna telinga awam.

Pengetahuan akan ilmu harmoni yang  kaitannya dengan nada-nada yang tersusun vertikal bahkan hubungan antar akor (hubungan horizontal) menjadikan musisi diwajibkan mengolah rasa dan juga rasio berpikirnya.

Jika memang sepenuhnya menggunakan rasa, bolehkan seorang musisi menggunakan kebebasannya dalam mengidentifikasi nada, interval, akor? jika ya, tentunya komunikasi antar musisi akan berujung pada kekacauan.

Musik adalah Hal untuk Bersenang-senang


Jauh sebelum anda berpikir demikian, dalam buku Nada-Nada Radikal karya Sukatmi Susantina tertulis bahwa Plato (Filsuf Yunani Kuno) kira-kira 2400 tahun lalu mengemukakan pendapat yang cukup menohok, "Masyarakat yang memandang musik hanya sebagai hiburan melulu, musik hanya sebagai alat dalam bersenang-senang, serta musik hanya sebagai media untuk mabuk-mabukan, masyarakat tersebut pastilah masyarakat yang bermoral rendah". Saya rasa pernyataan ini cukup untuk menjawab keraguan masyarakat awam dalam menilai stigma negatif musisi. Rasa penasaran saya akan kebebasan dalam bermusikpun hingga pada ranah pencarian fakta hubungan Musik dan Satanisme, yang lagi-lagi tidak ditemukan keterkaitan. Adanya musik beraliran satanis semata-mata untuk mendapatkan ciri khas tertentu sebagai keunikan yang berkaitan dengan industri musik modern.


Tak Perlu Belajar Formal, Bermusik adalah Bakat Alami


Pada artikel sebelumnya saya telah menulis Kecerdasan Musikal sebagai salah satu kecerdasan yang diakui. Pernyataan lain yang kerap didengar bahwa musik berkaitan dengan kebebasan adalah, bermusik sepenuhnya bakat. Sebagaimana orang berbakat, semuanya hanya melalui instingnya saja. Semua kebebasan yang nampak dalam bermusik adalah hasil dari latihan dan pembangunan ikatan terhadap musik yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pengalaman dari panggung ke panggung, revisi menciptakan lagu, penolakan aransemen adalah bentuk ilmu pengetahuan melalui pendekatan empirisme, sehingga ketika seorang musisi telah melewati jam terbang yang tinggi, mereka mampu mengambil keputusan jauh lebih cepat dibandingkan musisi amatir. Hal tersebutlah yang mungkin dinilai sebagai bakat.

Artikel ini sepenuhnya berasal dari opini saya untuk menanggapi pandangan-pandangan masyarakat awam terkait kebebasan dalam bermusik.