16 May 2025

Meramal 10 Tahun Kedepan: Fase Kebosanan Manusia Terhadap "Estetika" Tiruan AI


Beberapa tahun terakhir, dunia musik dikejutkan oleh kemunculan teknologi AI generatif seperti Suno dan Udio, dua platform AI yang mampu menciptakan musik hanya dengan input teks. Tak perlu kemampuan bermain alat musik, tak perlu pengetahuan teori musik mendalam, siapa pun kini bisa menjadi "komposer" instan. Fenomena ini mengaburkan batas antara pencipta dan penikmat, dan tentu saja mengundang decak kagum sekaligus kekhawatiran. Baca juga tulisan saya 11 tahun lalu Prediksi Masa Depan Kecerdasan Buatan Musik 10 Tahun Mendatang dari Anak Ingusan.


Namun, jika kita melihat ke depan sepuluh tahun dari sekarang bukan tidak mungkin manusia akan mengalami fase kebosanan estetis terhadap musik buatan AI. Bukan karena teknologinya gagal berkembang, tetapi justru karena keberhasilannya menghasilkan karya yang terlalu sempurna dan terlalu bisa ditebak.


1. Pola yang Terlalu Rapi

Salah satu alasan kuat mengapa kebosanan ini akan muncul adalah karena musik buatan AI secara inheren mengikuti pola. Algoritma dilatih berdasarkan data-data musik populer, sehingga apa yang dihasilkan cenderung berada dalam “zona nyaman” statistik. Harmoni yang aman, progresi akor yang familiar, dan lirik yang terdengar catchy tetapi tidak menggugah secara emosional.

Saat ini, pola-pola itu masih terasa mengagumkan. Namun, dalam jangka panjang, manusia sebagai makhluk pencari makna bisa saja merasa hampa ketika menyadari bahwa setiap lagu terasa seperti pernah didengar sebelumnya.


2. Hilangnya Ketidaksempurnaan yang Manusiawi

Keindahan seni sering kali lahir dari ketidaksempurnaan. Getaran suara yang sedikit meleset, improvisasi spontan, atau kesalahan kecil dalam pertunjukan live — semua itu menciptakan nuansa yang sulit digantikan oleh AI. Musik buatan AI, yang cenderung “bersih” dan bebas cela, bisa kehilangan unsur manusiawi yang membuat seni terasa hidup.

Saat algoritma semakin menguasai ruang produksi musik, kita bisa membayangkan era di mana lagu-lagu terdengar terlalu steril. Pendengar pun mulai mencari kembali “jiwa” yang dulu hanya bisa dihadirkan oleh manusia.


3. Krisis Otoritas Estetis

Dulu, komposer dianggap sebagai entitas visioner yang menyalurkan ekspresi batin melalui karya. Dengan AI, siapa saja bisa membuat musik tapi siapa yang layak disebut seniman? Ketika semua orang bisa menjadi kreator tanpa perjalanan artistik yang panjang, otoritas estetis pun terfragmentasi. Ini bisa menciptakan kejenuhan, karena tidak ada lagi narasi personal yang menyertai karya.


Kita Lihat 10 Tahun Kemudian...

Saya menulis ini bukan untuk menghakimi perkembangan teknologi. Justru sebaliknya saya adalah lulusan Teknik Informatika dan Musikologi yang memiliki minat besar terhadap kecerdasan buatan musik. Bahkan skripsi saya dulu membahas tentang kecerdasan buatan musik. Sayangnya, arah riset itu tidak saya lanjutkan. Kini, saya melihat hasil dari teknologi itu merajalela… namun juga mulai kehilangan kejutannya.


Sepuluh tahun dari sekarang, ketika semua orang bisa membuat lagu hanya dalam hitungan detik, apakah kita masih akan merasa tergerak saat mendengarnya? Atau justru kita akan kembali mencari yang “mentah”, yang “tidak sempurna”, yang “nyata”?


Jawabannya akan muncul seiring waktu. Tapi satu hal yang pasti: estetika tidak hanya soal bentuk, tetapi juga soal makna. Dan selama makna masih menjadi hak istimewa manusia, mungkin kita tetap akan merindukan musik yang lahir dari hati, bukan dari mesin.