Baru beberapa hari lalu saya dibabat habis dalam sidang proposal skripsi saya. Judulnya cukup ambisius: "Metode Forward Chaining Untuk Penamaan Akor Berdasarkan Interval Nada" Yang berdasar pada data mining, sistem pakar dan kecerdasan buatan. Saat saya menjelaskan potensi AI dalam membantu edukasi dalam penamaan akor kompleks.
“AI belum sampai ke sana,” kata salah satu dari mereka.
“Paling cepat 20 tahun lagi, dan itu pun hanya untuk kebutuhan musik produk massal. Bukan untuk estetika," sambung yang lain.
Saya tahu mereka bukan berniat menjatuhkan saya secara pribadi. Tapi rasanya tetap pedih ketika ide yang kita yakini bisa mengubah masa depan, dipatahkan di hadapan orang banyak. Mereka bilang: pendekatan estetis dalam musik terlalu kompleks untuk AI. Dibutuhkan data mining yang sangat rumit, model interpretasi selera manusia, dan pemahaman konteks budaya yang AI tidak akan mampu cerna dalam waktu dekat.
Tapi... saya tidak sependapat.
Sebagai mahasiswa Teknik Informatika, saya memang baru “kenal” dunia kecerdasan buatan. Tapi saya juga penggemar musik, dan saya melihat arah perkembangan teknologi jauh lebih cepat dari yang dibayangkan dosen-dosen saya. Mereka lupa bahwa dunia ini bukan hanya soal laboratorium dan jurnal ilmiah — tapi juga soal komunitas global.
Komunitas adalah Tambang Data Terbesar
Saya percaya, forum-forum internet, komunitas SoundCloud, YouTube, dan bahkan komentar anonim di forum DAW bisa menjadi tambang data estetis yang luar biasa. Kita tinggal menambang, menyusun, dan membentuk model. Jika kecerdasan buatan hari ini bisa mengenali wajah, suara, bahkan memprediksi kanker lebih cepat dari dokter, kenapa tidak bisa memahami selera musik?
Kecerdasan buatan tidak butuh “merasakan” musik seperti manusia, kecerdasan buatan hanya perlu mengenali pola, menganalisis preferensi, dan menghasilkan karya yang secara statistik dianggap “indah” oleh mayoritas pendengar. Musik populer sendiri pun pada akhirnya adalah hasil dari pola yang berulang.
10 Tahun Lagi: Siapa yang Akan Tertawa?
Hari ini tahun 2014. Mungkin teknologi saya masih mentah. Mungkin ide saya masih dianggap “main-main”. Tapi saya tulis ini sebagai catatan: 10 tahun dari sekarang, mari kita lihat siapa yang akan terbukti benar.
Apakah para “judges” yang saya hormati itu, dengan penilaian akademiknya yang tajam?
Ataukah saya, anak ingusan yang baru kenal komputer, tapi percaya bahwa dunia bisa berubah lewat jalur yang tidak selalu bisa dipetakan oleh logika tua?
Jika di tahun 2024 nanti ada orang yang bisa membuat lagu hanya dengan mengetikkan lirik dan mood, jika kecerdasan buatan bisa menghasilkan suara yang bisa bersaing dengan musisi sungguhan maka saya ingin mereka tahu: kami pernah mempercayai ini bahkan sebelum dianggap mungkin.
Karena ide besar tidak selalu lahir dari yang paling pintar. Kadang, ide besar lahir dari mereka yang cukup naif untuk tidak takut ditertawakan.
Penutup dari Anak Ingusan
Skripsi ini adalah bentuk usaha menggabungkan dua dunia yang sangat saya minati: musik dan informatika. Saya percaya bahwa melalui pendekatan sistem pakar dan data mining, mesin bisa diajarkan memahami struktur musik bahkan hingga ke tahap komposisi.
Sayangnya, ketika saya mencoba mengembangkan gagasan itu ke arah komposisi musik otomatis berbasis kecerdasan buatan, banyak yang menganggapnya terlalu ambisius. Mereka bilang, kecerdasan buatan untuk kebutuhan estetika baru akan matang 20 tahun lagi dan itu pun terbatas untuk produk massal.