02 May 2025

Katanya Founder Kok Miskin?


Di dunia startup, ada satu paradoks yang sering terjadi: founder kok miskin? Harusnya, mereka yang membangun bisnis dari nol, mengambil risiko besar, dan mengelola tim bisa menikmati hasilnya, kan? Tapi kenyataannya, banyak founder masih hidup pas-pasan. Sementara di media sosial kita lihat startup unicorn, di balik layar banyak pendirinya masih berjuang membayar operasional, gaji karyawan, dan bahkan diri sendiri.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di industri teknologi, tapi juga di dunia pendidikan, musik, dan bisnis kreatif lainnya. Banyak founder yang rela nggak gajian demi membayar timnya. Mereka kerja ekstra, nggak ada jam kerja yang jelas, bahkan sering kali harus turun tangan sendiri di lapangan. Kenapa bisa begini?

Pertama, karena idealisme. Banyak founder punya visi besar dan ingin membangun sesuatu yang berarti. Akhirnya, profit pribadi bukan lagi prioritas utama. Kedua, sistem bisnis di Indonesia sering kali lebih berpihak pada investor atau pemilik modal, bukan pada orang yang membangun bisnis itu sendiri. Ketiga, kalau kita bicara industri pendidikan, terutama musik, nilai ekonomi yang ditanamkan sering kali lebih ke arah passion daripada keberlanjutan bisnis.


Sebagai founder Fisella®, banyak yang mungkin mengira saya sudah hidup enak, punya mobil mewah, atau minimal nggak lagi kepanasan dan kehujanan naik motor ke sana-sini. Tapi kenyataannya? Ya, saya masih begini-begini aja. Naik motor, muter-muter Jogja, kerja sebagai guru, dan tetap berusaha memastikan semua guru Fisella® dapat gaji yang layak.

Lucunya, saya tahu salah satu alasan kenapa saya belum kaya raya: rate sharing revenue di Fisella® paling gede di Jogja. Kalau saya potong lebih kecil seperti tempat lain? Mungkin sekarang saya sudah tajir melintir. Tapi di Fisella®, saya lebih memilih membangun ekosistem yang adil. Buat saya, bisnis pendidikan musik bukan cuma soal cari untung, tapi juga tentang memastikan guru-guru punya kehidupan yang layak.

Antara Idealisme dan Kenyataan

Sebenarnya, saya bisa saja ambil jalan pintas. Kurangi persentase revenue untuk guru, naikin harga kursus, dan simpan lebih banyak profit buat diri sendiri. Tapi, buat apa? Kalau guru Fisella® nyaman, mereka bakal ngajarin murid dengan sepenuh hati. Kalau mereka dihargai, mereka bakal kasih yang terbaik. Saya percaya, kalau mau industri musik berkembang, pengajarnya dulu yang harus sejahtera.

Tapi tentu saja, idealisme ini ada harganya. Saya sendiri masih harus bekerja muter-muter Jogja. Masih harus jungkir balik memastikan semuanya berjalan. Kadang ada yang bilang, "Peter, lo founder, lo harusnya nggak usah kerja muter-muter lagi dong!" Ya kalau saya nggak kerja, siapa yang memastikan semuanya tetap jalan?

Fisella®: Mimpi yang Harus Terus Dijalankan

Saya nggak akan bohong, kadang saya juga iri lihat founder lain yang bisa lebih santai menikmati hasil bisnisnya. Tapi buat saya, Fisella® bukan sekadar bisnis, ini adalah bagian dari perjalanan panjang membangun industri musik di Indonesia. Saya percaya bahwa dengan berbagi lebih banyak ke guru-guru, kualitas pengajaran akan semakin baik. Dan ketika musik di Indonesia berkembang, dampaknya akan lebih besar daripada sekadar isi rekening pribadi saya.

Jadi ya, mungkin saya masih begini-begini aja. Tapi saya tahu, saya sedang membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekayaan pribadi. Dan bagi saya, itu sudah lebih dari cukup.

Tapi siapa tahu, suatu hari nanti saya juga bisa naik mobil, nggak kepanasan, nggak kehujanan, dan tetap bisa memastikan semua orang di Fisella® sejahtera. Doain aja. 😉

Suatu saat saya akan bangga baca tulisan ini. Kalau orang lain kerja 9-5, saya kerja 5-9 buat Fisella®