11 July 2025

Konser Jazz yang Tak Lagi Jazz: Mengurai Polemik Festival Jazz di Indonesia


Beberapa waktu setelah gelaran Prambanan Jazz Festival 2025, jagat maya musik Indonesia kembali diramaikan oleh perdebatan klasik: "Masihkah ini layak disebut festival jazz?"



Tesis: Jazz yang Kehilangan Jiwanya?

Pernyataan lugas datang dari Indra Lesmana, salah satu tokoh jazz paling berpengaruh di Indonesia. Lewat cuitannya di Instagram, ia mengatakan, “Semakin sedikit musisi jazz tampil di festival jazz. Tanpa jazz, festival jazz kehilangan jiwanya.” Sementara itu, Franky Sadikin, bassist jazz profesional, menambahkan bahwa, “Di luar negeri jazz itu gaya hidup, di sini (Indonesia) dijadikan judul nama suatu acara komersil biar tiketnya mahal.”

Kedua komentar tersebut seperti menyentil langsung arah dan esensi festival jazz yang semakin menjauh dari akar musik jazz itu sendiri. Festival yang seharusnya menjadi ruang apresiasi jazz justru menghadirkan line-up musisi pop, rock, bahkan K-pop. Bagi banyak musisi dan penikmat jazz sejati, ini bukan sekadar perbedaan selera, tapi soal integritas artistik.



Antitesis: Jazz Sebagai Semangat Keterbukaan

Di sisi lain, Anas Alimi, pendiri Prambanan Jazz, dengan elegan membalas satire tersebut lewat tulisan terbuka di media sosial. Ia memaparkan pandangannya bahwa jazz bukan hanya genre, tapi semangat keterbukaan dan improvisasi konteks.

Anas menulis,

“Jazz, kawan, bukan hanya soal improvisasi nada dan akor. Tapi juga improvisasi konteks. Jazz adalah keberanian melawan pakem, bukan sekadar menuruti textbook di rak yang penuh debu.”

Ia menjelaskan bahwa menghadirkan Kenny G bukan berarti tidak paham John Coltrane. Menurutnya, justru di sanalah jazz menemukan relevansi emosionalnya untuk generasi tertentu. Begitu juga saat Raisa, Kahitna, atau musisi Korea-Amerika hadir di panggung Prambanan Jazz, itu adalah bentuk inklusi—bukan pengkhianatan terhadap jazz.

Sebagai pembelaan yang tak kalah tajam, Anas mencontohkan New Orleans Jazz & Heritage Festival yang juga menampilkan band seperti Foo Fighters dan Pearl Jam. Ia mengajak publik untuk memandang festival sebagai ruang tamu budaya, bukan museum genre. Prambanan Jazz, katanya, adalah tempat di mana “musik bertukar cerita, bukan bertarung gengsi.”



Anti-Sintesis: Dua Pandangan yang Tak Akan Bertemu

Sebagai orang yang pernah duduk di bangku kuliah yang sering membahas tema-tema musikologi, kritik musik, dan apresiasi musik yang terbiasa melihat fenomena musik dari berbagai sisi, saya merasa penting untuk mengatakan bahwa tidak semua pertentangan harus menemukan titik temu.

Bagi para jazzer sejati, jazz adalah form, bukan hanya spirit. Ia memiliki idiom musik khas—dari harmoni kompleks, swing feel, hingga kebebasan improvisasi yang tetap disiplin. Di sisi ini, jazz adalah genre yang serius dan sarat sejarah, bukan sekadar narasi inklusif.

Sementara bagi Anas dan tim festival sejenis, jazz adalah simbol keterbukaan, perayaan keragaman musikal, dan alat komunikasi budaya lintas genre.

Keduanya sah. Tapi memang tidak saling mengisi. Mereka tidak sedang berdiskusi dalam ruang yang sama. Sehingga jika berharap akan adanya sintesis, itu terlalu idealis. Yang terjadi adalah dua cara berpikir yang berjalan beriringan tanpa bersinggungan.